ABDI ALLAH dan KHOTBAHNYA
Dr. Henoch Edi Haryanto
Saat ini, tidak sedikit hamba Tuhan yang tak lagi kritis dan hanya mengikuti tren. Akibatnya ada bahaya yang melekat dan tak disadari oleh para hamba Tuhan, dalam tema-tema khotbahnya lebih terpacu atas nilai-nilai duniawi (sekularisme) dan uang, kekayaan atau sukses (materialisme) dari pada nilai-nilai Alkitabiah. Maka mereka melakukan pemberitaan hanya yang sesuai dengan apa yang diinginkan zaman ini. Slogan yang sering kita dengar masa kini adalah: "yang terutama bukan masalah kebenaran tetapi apa yang saya alami". Pernyataan tersebut sangat berbahaya dan jika hamba Tuhan berpikiran bahwa yang terutama adalah yang dialami maka mereka akan berusaha supaya berkhotbah tentang apa yang diinginkan telinga pendengarnya, bukan lagi apa yang diinginkan oleh Allah.
Charles Haddon Spurgeon adalah pengkhotbah ternama Inggris dan pengkhotbah yang dicintai oleh jemaat untuk lebih dari separuh abad ke sembilan belas, menasehati mahasiswa-mahasiswanya, "Khotbah yang dilakukan tanpa persiapan, tanpa belajar, adalah seperti mendung tanpa hujan. Dari tidak ada apa-apa menghasilkan tidak apa apa." Beliau juga menasehatkan, "...Khotbahnya seharusnya merupakan gelora jiwanya, pancaran semangat intelektualnya dan spiritualnya...khotbah-khotbah itu semestinya seperti permata yang dipotong dan disusun dengan baik-berharga dan hakiki, dan menampilkan tanda-tanda kerja keras. Allah tidak menghendaki kita mempersembahkan sesuatu yang tidak menuntut pengorbanan apapun dari kita." Hamba Tuhan harus mengerti isi Alkitab dengan benar. Itulah sebabnya penting sekali bagi setiap hamba Tuhan untuk belajar kebenaran Firman Tuhan. Hamba Tuhan harus terus bertumbuh dalam pengenalan akan Firman Tuhan. Bukan gelar yang menjadi tujuan tetapi pemahamannya tentang Tuhan.
Beritakanlah Firman Allah.
Paulus menasehati Timotius dalam 2 Tim. 4:1-2 demikian, "Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran." Mengapa Paulus membicarakan hal itu dalam nasihatnya kepada Timotius? Untuk mengingatkan Timotius bahwa suatu hari nanti, akan tiba saatnya untuk mempertanggungjawaban pemberitaan firman yang telah dilakukan. Sebagai hamba Tuhan, Timotius diminta untuk memberitakan firman. Karena semakin banyak orang yang tidak suka mendengar kebenaran firman Tuhan. Orang lebih suka mendengar apa yang menyenangkan untuk didengar, ketimbang mendengar sesuatu yang memerahkan telinga. Karena akan datang masa dimana orang lebih suka dengan ketidak benaran dan dongeng (2 Tim.4:3-4). Tidak semua orang yang membuka Alkitab dan membicarakannya, berarti sedang memberitakan firman. Banyak pengkhotbah yang membicarakan dirinya, dan bukan firman. Jika fokusnya pada kisah lucu atau tentang pengalaman hidupnya yang begitu menyentuh, itu berarti ia sedang membicarakan dirinya.
Menjadi hamba Tuhan tak mudah karena tugas dan tanggung jawab mereka terhadap pemberitaan firman tidaklah kecil. Seorang hamba Tuhan harus selalu siap menyampaikan firman Tuhan, kapan saja. Ia harus siap memberitakannya, baik dalam keadaan senang maupun susah; baik saat ia dapat melihat buahnya maupun tidak. Mimbar harus digunakan untuk benar-benar menyampaikan Firman Tuhan dengan obyetif Alkitabiah. Akan tetapi, perlu diperhatikan juga, seorang hamba Tuhan harus memperhadapkan firman Tuhan dengan hidup para pendengarnya, dan membiarkan Allah bekerja di dalamnya.
Paulus dalam nasehatnya kepada Timotius, menyinggung dua kali pengajaran tentang Allah sebagai Hakim. Adanya penghakiman yang akan datang seharusnya memberikan kesadaran dan juga menjadi inspirasi yang membuat Timotius makin sungguh-sungguh melayani. Sudut pandang kemasa depan inilah yang menjadi dasar supaya Timotius sebagai pemberita firman bersikap siap sedia (2 Tim.4:2), menguasai diri dalam segala hal dan "menunaikan" tugas pelayanannya (2 Tim.4:5), seperti seorang atlit yang mencapai garis finis dengan baik (bdk. 2 Tim.4:6-8).
Melihat diri dan Ajaran.
Kecenderungan manusiawi kita adalah melihat apa yang ada di depan mata. Kita susah melihat kelemahan kita tetapi sangat cepat mengamati kekurangan orang. Seorang hamba Tuhan haruslah seorang yang dapat menjaga, mengamati, dan menonton, dirinya sendiri. Pesan Paulus kepada Timotius, "Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau." (1 Tim. 4:16). Setiap hamba Tuhan harus ingat hal ini di dalam hatinya, sambil memperhatikan, pertama-tama kepada dirinya sendiri, dan meyakini bahwa ia menjadi teladan kesucian. Dan juga, ia harus memperhatikan ajarannya dengan cermat, karena keselamatan kekal baginya dan keselamatan kekal bagi orang yang mendengarkannya tergantung pada hal yang dia ajarkan. Jika hamba Tuhan memegang doktrin palsu atau menolak berkata kebenaran kepada orang-orang, maka akibatnya bisa membawa kehancuran kekal baginya dan orang-orang lain.
Seorang hamba Tuhan harus tekun belajar Firman Tuhan sehingga ia memahami secara menyeluruh dan seimbang tentang hal itu. Paulus juga bersurat kepada Timotius, "Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu" (2 Timotius 2:15). Kata "usahkanlah" di sini memiliki pengertian untuk berjuang dan berusaha keras menggali kebenaran Firman Allah. Karena dengan mengerti apa yang Allah maksudkan dalam FirmanNya, seseorang akan mengerti bagaimana menjadi seorang hamba yang layak di hadapan Allah.
Dalam Alktiab bahasa Inggris (KJV) kata "usahakanlah" di sini adalah kata "study" yang mana menekankan bagaimana umat Kristen mempelajari Firman Allah dalam menyenangkan hati Allah. Perlu diketahui bahwa kata "usahakanlah" atau "study" ditulis dalam bentuk perintah atau imperatif dalam bahasa Yunani. Itu berarti, bahwa setiap hamba Tuhan harus melakukannya. Itu bukan suatu pilihan atau opsi tetapi suatu keharusan. Oleh karena itu, sebelum hamba Tuhan memberikan suatu arti Firman Allah yang dipelajari, ia harus berhati-hati dalam menangani perkataan Allah karena itu bukan perkataan manusia. Jadi ketika seseorang ingin memberikan arti suatu Firman, ia harus memikirkan apa maksud Allah ketika DIA mengatakan atau memberikan perkataan itu dan bukan apa pendapatnya tentang maksud Firman itu.
Menafsirkan Alkitab dengan Tepat dan Benar
Tidak mudah untuk mengetahui kebenaran suatu tafsiran. Harus diakui, ada bagian Alkitab yang mudah dimengerti dan ditafsirkan, bahkan orang awam sekalipun bisa memahaminyai dengan mudah, tetapi ada banyak bagian Alkitab yang sulit dipahami dan menuntut pembelajaran serius dan saksama. Fakta ini mengingatkan setiap umat Kristen untuk berhati-hati dalam memberikan arti suatu perikop Alkitab.
Petrus memberikan peringatan penting agar umat Kristen jangan sembarang bicara dalam memberikan arti tafsiran perikop Alkitab tetapi harus mempelajarinya dengan seksama dan dalam doa yang sungguh-sungguh karena ada perikop Alkitab yang sulit dimengerti. Kesalahan dalam memberi tafsiran atau arti perikop Alkitab akan membinasakan dan menyesatkan diri sendiri dan orang yang dipimpinnya.
"Anggaplah kesabaran Tuhan kita sebagai kesempatan bagaimu untuk beroleh selamat, seperti juga Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya. Hal itu dibuatnya dalam semua suratnya, apabila ia berbicara tentang perkara-perkara ini. Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain" (2 Pet 3:15-16).
Ayat di atas jelas-jelas memberitahukan, ada orang-orang yang sembarangan memberikan tafsiran Alkitab tanpa memperdulikan akibatnya. Perilaku ini telah terjadi bukan hanya di masa modern sekarang ini tetapi sudah terjadi sejak awal berdirinya gereja mula-mula. Inilah yang diamat Petrus masa pelayanannya. Dan masa kini tentu telah terjadi dalam skala besar. Jika masa dulu perbuatan semacam itu dilakukan perorangan, namun masa kini dilakukan dalam skala organisasi, institusi dan denominasi gereja. Setiap umat percaya harus berhati-hati dan selalu kembali kepada Alkitab dalam mengetahui suatu ajaran itu benar atau salah, sekalipun pengajar atau pengkhotbah itu merupakan orang yang sudah dikenal sejak lama, karena tidak jarang terjadi orang yang setia selama puluhan tahun, namun kemudian meninggalkan kebenaran menjelang masa akhir pelayanannya.
Penafsiran firman Tuhan yang tepat dan benar merupakan landasan orang percaya. Setiap kali kita membaca Alkitab, pasti akan bertemu dengan proses penafsiran mengenai makna ayat-ayat yang dibaca. Mencari makna atau arti yang sesungguhnya dari firman Tuhan, harus dilakukan oleh setiap orang yang rindu mengenal Tuhan, mau menjadi pengkotbah, hendak memimpin sharing atau pendalaman Alkitab dan aktivitas rohani lainnya. Dalam lingkungan ilmu teologi, proses penafsiran Alkitab disebut sebagai ilmu hermeneutika.
Kata Hermeneutik dalam bahasa Ibrani adalah pathar, yang artinya adalah menafsir" (to interprete). Sedangkan kata bendanya adalah pithron, artinya "tafsiran" (interpretation). Kata ini paling umum digunakan dalam konotasi menafsirkan mimpi, karena mimpi berwujud simbol yang artinya tidak jelas. (Kej.41:8,12,15). Kata Hermeneutik dalam bahasa Yunani adalah hermeneutikos, berasal dari kata hermeneuo, artinya "menafsir" (to interprete). Kata benda yang dipakai adalah hermeneia, artinya "tafsiran" (interpretation). Kata ini ambil dari kata Hermes, yaitu nama dewa Yunani yang tugasnya membawa berita-berita dari dewa-dewa kepada manusia. (Kis. 14:11-12). Jadi kata hermeneutika berarti menginterpretasikan, menjelaskan atau menterjemahkan. Sebuah definisi yang disepakati para ahli adalah, menunjuk seluruh proses penafsiran yang membawa pembaca modern mengerti akan berita yang disampaikan oleh Alkitab. Sebagai ilmu, hermeneutik menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencari arti sesungguhnya dari Alkitab. Prinsip yang dipakai hermeneutik merupakan suatu sistem yang masuk akal, dapat diuji dan dipertahankan.
Memahami kitab-kitab suci sesungguhnya tidak mudah, pertama karena antara kita yang hidup dalam dunia modern dan kitab-kitab suci terbentang jurang sejarah yang lebar, dari ratusan tahun hingga ribuan tahun; dan kedua karena ada jurang budaya yang membuat cara hidup, cara berbudaya dan cara berpikir pramodern para penulis kitab-kitab suci dan masyarakat mereka berbeda tajam dari cara-cara kita dan masyarakat kita dalam zaman modern ini untuk hal-hal yang sama. Nabi Musa dan Yesus dari Nazareth serta Rasul Paulus, misalnya, tak mengenal berbagai jenis komputer, Internet dan Twitter, tidak seperti kita yang hidup di abad ke-21 ini.
Dua jurang yang menganga ini benar-benar ada dan tidak bisa begitu saja diabaikan. Jika kita mengabaikan dua jurang ini, maka kita terjatuh ke dalam kubangan anakronisme, yang akan pasti membuat kita tidak bisa hidup fungsional lagi di dalam dunia kita sendiri pada masa kini sebagai orang-orang lain yang hidup berbeda dari orang-orang zaman kitab-kitab suci ditulis. Anakronisme itu berada di zaman yang salah, yang tidak sinkron dengan zaman anda sendiri. Keadaannya seperti memindahkan Nabi Musa dengan paksa untuk hidup modern di kota New York pada masa kini: dia akan pasti terkena kejut budaya (culture shock) yang akan membuatnya lumpuh total.
Kalangan literalis skripturalis menerima begitu saja segala hal yang tertulis dalam kitab-kitab suci mereka sebagai kebenaran-kebenaran abadi yang tinggal diambil lalu dipakai dan diterapkan begitu saja (at face value) pada zaman modern sekarang ini. Jelas, literalisme (harfiah, menurut huruf, kata demi kata) hanya akan menghasilkan anakronisme (Kamus KBBI: ketidakcocokan dengan zaman tertentu; penempatan tokoh, peristiwa percakapan, dan unsur latar belakang yang tidak sesuai menurut waktu di dalam karya sastra). Perlu ada suatu pendekatan tafsir yang dapat mencegah anda terjatuh ke dalam anakronisme Pendekatan semacam ini sudah ada, dinamakan pendekatan historis kritis (historical criticism). Berikut ini langkah-langkah menafsir teks-teks kitab-kitab suci secara historis kritis.
Alkitab adalah karya ilahi-insani. Roh Kudus mengilhami para penulis untuk menulis (2 Tim.3:16; 2 Pet. 1:20-21), tetapi mereka tetap bebas mengekspresikan sesuai dengan latar belakang masing-masing. Kebebasan ini dijaga begitu rupa oleh Roh Kudus agar tulisan mereka bersifat tidak bersalah (inerrant). Implikasi dari doktrin ini adalah para penafsir harus memahami Alkitab sesuai dengan apa yang dipikirkan para penulis Alkitab. Untuk mengetahui maksud para penulis, penafsir perlu memahami hermeneutika, yaitu prinsip-prinsip penafsiran Alkitab.
Mengapa diperlukan cara menafsirkan Alkitab?
Dalam menafsirkan Alkitab kita perlu memahami 2 hal yaitu: Eksegesis dan Eisegesis adalah dua pendekatan yang berkonflik dalam studi Alkitab. Eksegesis adalah eksposisi atau penjelasan dari sebuah teks berdasarkan analisa-analisa yang seksama dan obyektif. Kata eksegesis secara harfiah bermakna "menuntun keluar dari." Maksudnya bahwa si penafsir menuntun kesimpulan-kesimpulannya dari teks Alkitab. Yang paling berbahaya adalah pendekatan terhadap Alkitab adalah eisegesis, dimana penafsiran sebuah nas Kitab suci berdasarkan pada sebuah pembacaan subyektif dan tanpa analisa. Kata eisegesis secara hurufiah berarti "menuntun masuk kedalam," yang bermakna bahwa penafsir memasukan ide-idenya sendiri kedalam teks, menjadikan teks tersebut bermakna apapun yang dia maui. Eisegesis adalah sebuah kesalahan dalam menangani teks dan kerapkali menuntun kepada sebuah kesalahan penafsiran. Tetapi eksegesis dikaitkan dengan menemukan kebenaran makna dari sebuah teks, memperhatikan seksama tata bahasa, sintaks dan latar belakang, sintaks (cara bagaimana elemen-elemen linguistik (sebagai kata-kata) dirangkai untuk membentuk kalimat anak anak kalimat). Eisegesis hanya dikaitkan dengan membuat sebuah poin atau maksud, bahkan dengan mengorbankan makna dari kata-kata.
Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa hermeneutika merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan:
1. Hermeneutika menjadi jembatan bagi jurang antara penulis Alkitab dan penafsir modern.
Jurang bahasa: Perjanjian Lama (PL) ditulis dalam bahasa Ibrani (plus sedikit Aramik) dan Perjanjian Baru (PB) dalam bahasa Yunani. Contoh: Mat.26:41 dan Yak.1:2.
Jurang budaya: PL ditulis dalam budaya Israel kuno, Mesopotamia, Mesir, dll., sedangkan PB dalam budaya Yunani-Romawi. Contoh: Yoh.10:4; Mark.14:13.
Jurang historis: beberapa teks sulit dipahami seandainya penafsir tidak mengetahui latar belakang historis suatu peristiwa. Contoh: Luk.2:1-4; Kis.1:6.
Jurang geografis: pengenalan tentang situasi khusus Palestina sangat membantu dalam penafsiran. Contoh: Kis.10:9 'on the roof'; Luk.10:30.
2. Hermeneutika menjadi pedoman dan tolak ukur kebenaran suatu tafsiran.
Mayoritas bidat (ajaran sesat) tetap memakai Alkitab, tetapi penafsiran mereka tidak sesuai dengan maksud mula-mula penulis Alkitab. Isu pokok tidak terletak pada apakah seseorang memakai Alkitab, tetapi apakah orang tersebut memakai Alkitab secara tepat.
Mereka yang anti-teologi dan menganggap tafsiran mereka berasal dari Roh Kudus memiliki tafsiran yang sangat subjektif dan kadangkala saling berkontradiksi.
Prinsip Umum Hermeneutika
1.Penafsiran Secara Literal
Adalah penafsiran berdasarkan arti yang benar untuk kata-kata dalam Alkitab. Biasanya para penulis Kitab menggunakan kata-kata yang sesuai dengan arti yang biasa. Jadi, kita dapat menganggap bahwa kata-kata dalam Alkitab mempunyai arti yang biasa, kecuali konteks memaksa kata-kata itu mempunyai arti yang luar biasa. Namun demikian, satu kata dapat mempunyai lebih dari satu arti. Karena itu kita perlu mengikuti langkah-langkah untuk menentukan arti yang benar:
Carilah arti kata dalam kamus dan catatlah kemungkinan-kemungkinan arti dari kata tersebut.
Pelajari kata tersebut dalam konteks dekat.
Kalau artinya belum jelas, pakailah konkordansi untuk mempelajari pemakaian kata tersebut dalam konteks jauh.
Bandingkan dengan terjemahan-terjemahan lain.
Bila artinya masih kurang jelas, pakailah prinsip khusus untuk kata-kata kiasan.
2.Penafsiran kontekstual.
Kata "konteks" berasal; dari dua kata bahasa Latin "con" yang berarti "bersama-sama atau menjadi satu dan texere/text/textus yang berarti "tersusun, rajutan". Jadi kata "konteks" disini dipakai untuk menunjukkan hubungan yang menyatukan bagian Alkitab yang ingin ditafsir dengan sebagian atau seluruh Alkitab. Analisa konteks menuntut suatu kata atau ayat harus dipahami dalam kaitan dengan ayat/perikop/pasal yang lain. Dengan kata lain, seorang penafsir tidak boleh mencomot ayat sembarangan.
a.Konteks Dekat:
Ketika kita mulai menyelidiki Galatia 1:6 misalnya, JANGAN terlalu berkutat pada ayat 6 saja, tetapi juga pada ayat sebelum dan sesudahnya. Itu yang disebut sebagai konteks dekat. Bacalah Alkitab seperti kita membaca surat kabar, majalah, atau buku pelajaran. Artinya, jika kita kurang jelas mengerti satu kalimat, maka akan dijelaskan pada kalimat berikutnya atau bahkan kalimat terakhir. Kembali ke contoh, apa yang dimaksud dengan "injil lain" di Galatia 1:6? Mudah saja, baca ayat berikutnya, di ayat 7, karena di situ dijelaskan bahwa injil lain itu bukan Injil Kristus, bahkan injil lain itu hendak memutarbalikkan Injil Kristus! Kadang, Paulus tidak menjelaskan satu kata di ayat tertentu di pasal tertentu pada ayat berikutnya, tetapi pada pasal berikutnya. Itulah sebabnya, di titik awal, saya menyuruh para penafsir Alkitab untuk membaca satu kitab yang hendak ditafsirkan itu secara keseluruhan, agar kita tidak kehilangan maksud penulis Alkitab itu.
b.Konteks Jauh:
Teks yang akan diselidiki tidak hanya perlu diperhatikan dari konteks dekat (ayat sebelum dan sesudahnya), tetapi juga perlu diperhatikan dari konteks jauh. Artinya, ketika kita menyelidiki satu kata yang ditulis di dalam Surat Efesus yang ditulis oleh Rasul Paulus, maka kita perlu menyelidiki kata yang sama yang terdapat di dalam surat-surat Paulus lainnya, entah itu Roma, Korintus, Filipi, Kolose, dll, sehingga kita mendapatkan pengertian yang jauh lebih kaya. Selain surat-surat dengan penulis yang sama, kita perlu juga memperhatikan surat-surat lain yang ditulis oleh penulis yang berbeda. Dan terutama dan terpenting, kita harus kembali kepada pengajaran Tuhan Yesus sendiri.
Misalnya, apa arti Allah memilih kita sebelum dunia dijadikan di Efesus 1:4? Di Surat Efesus, Paulus tidak terlalu jelas menguraikan makna predestinasi ini, sedangkan di Surat Roma, ia sangat jelas menguraikannya: "Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya." (Rom. 8:29-30) Tidak cukup hanya di situ, di Roma 9, dengan gamblang dan detail Paulus menguraikan bahwa Allah yang memilih manusia juga adalah Allah yang tentu saja menolak beberapa sisanya. Di Roma 9:13, Paulus mengungkapkannya dengan jelas, "Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau." (bdk. Mal. 1:2-3). Dari prinsip ini, kita belajar bahwa predestinasi Allah juga mencakup reprobasi (penolakan) Allah.
Bagaimana dengan pengajaran Rasul Petrus? Di dalam 1 Petrus 1:2, Rasul Petrus menjelaskan bahwa orang Kristen adalah, "yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya." Di sini, peran Allah Trinitas ditekankan oleh Petrus di dalam proses pemilihan Allah kepada beberapa orang. Yang terpenting dari semua, Tuhan Yesus sendiri yang mengajar dengan jelas, "Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu." (Yoh. 15:16) Pemilihan Allah pada beberapa manusia dilakukan dengan menarik umat pilihan-Nya dan membawa mereka kepada Kristus. Kristus mengatakan hal ini sebanyak dua kali di dalam Yohanes 6: "Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang." (Yoh. 6:37) dan "Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman." (Yoh. 6:44)
3. Penafsiran Historis-Kultural.
Analisa historis-kultural menuntut penafsir mengetahui sejarah maupun budaya pada jaman Alkitab yang melatarbelakangi suatu teks. Contoh: apakah signifikasi Kejadian 1 bagi bangsa Israel waktu itu yang ada di padang gurun? Mengapa orang Samaria belum penuh Roh Kudus (Kis.8:14-16)? Mengapa Tuhan perlu memberikan penglihatan kepada Kornelius dan Petrus di Kisah.10:1-23?
Analisa ini mencakup dimensi yang luas. Yakni latar belakang dari apa yang ditulis dalam kitab, tempat/daerah dimana kitab tersebut ditulis, tempat/daerah pembaca pertama. Dalam analisa ini terdapat beberapa hal penting:
a.Unsur-unsur Geografis
Dalam pengumpulan data geografis, seorang penafsir dapat memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk mengerti kitab yang akan ditafsir. Beberapa catatan: berapa jauh jarak dari Mesir ke tanah perjanjian Palestina? Berapa jarak yang ditempuh nabi Elia dari gunung Karmel lewat jalan yang menuju Yizreel sampai Bersyeba? (I Raja-raja 18-19).
b.Unsur Waktu
Unsur waktu merupakan salah satu unsur yang penting dan perlu diperhatikan penafsir. Kitab Daniel pasal 1-6 sebenarnya mencakup masa tiga raja yang cukup lama. Perhatikan unsur waktu ini dari surat-surat rasul Paulus:
I Korintus 15:9, "Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul…"
Efesus 3:8, "Kepadaku, yang paling hina diantara segala orang kudus…"
I Timotius 1:15, "…Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa dan diantara mereka akulah yang paling berdosa."
Rupanya pengenalan Paulus akan Allah dari hari ke hari semakin dalam dan membuatnya semakin rendah hati.
c. Unsur Politik & Ekonomi
Unsur ini perlu diperhatikan di dalam menafsir. Terutama dalam menafsir keempat kitab Injil. Karena situasi sosial ekonomi pada masa itu, bangsa Yahudi sedang berada dalam penjajahan bangsa Romawi. Tuhan Yesus hidup dalam masa penjajahan mereka.
4.Penafsiran Teologis.
Penafsiran ini didasarkan pada keyakinan bahwa seluruh Alkitab adalah karya Allah, sehingga saling menjelaskan dan tidak ada bagian-bagian yang berkontradiksi. Penafsiran suatu ayat tidak boleh bertentangan dengan ayat yang lain.
Contoh: Filipi 2:12b. Perhatikan ungkapan "kerjakanlah keselamatanmu". Apakah keselamatan itu pekerjaan manusia? Tidak! Bukan bekerja untuk selamat, melainkan mengerjakan keselamatan yang sudah kita terima dari Tuhan Yesus melalui iman sehingga kita menjadi orang selamat yang bermutu (berkualitas). Paulus sedang menjelaskan bagaimana seseorang itu dapat mencapai kedewasaan. Calvin berkata bahwa kata 'keselamatan' disini artinya adalah "seluruh jalan panggilan kita". Jadi disini kata 'keselamatan' itu mempunyai arti yang berbeda dari biasanya. Di sini, 'keselamatan' itu mencakup daerah mulai saat kita percaya sampai saat kita masuk surga. Kata 'kerjakan' (ay 12) dalam bahasa Yunaninya adalah KATERGAZESTHE, yang berasal dari kata kerja yang berarti 'to bring to completion' (= menyelesaikan). Jadi, 'kerjakan keselamatanmu' berarti: dalam jalan saudara ikut Tuhan, jangan berhenti di tengah jalan! Ikutlah terus sampai akhir!
5. Penafsiran Gramatikal (tata bahasa).
Analisa gramatikal menuntut suatu kata dipahami berdasarkan bahasa asli Alkitab. Bagi jemaat awam pemahaman bahasa asli bisa diganti dengan perbandingan berbagai versi Alkitab.
Contoh: Perhatikan kata "memandang" dan "menginginkan" dalam Matius 5:28. Dari ayat ini seakan-akan memberi kesan bahwa kita tidak boleh melihat wanita dan menghendakinya, apakah benar demikian? Kata "memandang" dari kata Yunani "blepÅ " ditulis dalam bentuk waktu present participle (blepon) yang memiliki arti "melihat dengan teliti", yaitu seseorang yang terus menerus melihat. Sedangkan kata "menginginkannya" (Yun: epithumia) : dari kata 'epi'berarti "melebihi" dan kata 'thumos' yang memiliki arti "nafsu birahi". Jadi ungkapan berarti nafsu birahi yang berlebihan. Keinginan yang menyala-nyala terhadap lawan jenis yang melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah untuk suatu hubungan seksual.
Efesus 5:18 mengatakan, "hendaklah kamu penuh dengan Roh". Frasa 'penuh dengan Roh' ditulis dalam bentuk kata kerja pasif: menunjukkan Roh Kudus yang mengontrol; kata kerja imperative: ini berarti setiap orang Kristen HARUS dipenuhi Roh Kudus, terus menerus mau taat, dituntut (perintah untuk dilaksanakan: ketaatan kita) atau dicari oleh setiap orang percaya; kata kerja present, bukan bentuk aorist (masa lampau): berarti dipenuhi oleh Roh Kudus merupakan suatu kegiatan yang harus terjadi secara terus menerus, berulangkali harus terjadi; dan yang harus dipenuhi "semua orang Kristen" karena ditulis dalam bentuk jamak "kamu". Jadi, Penuh Roh Kudus berkaitan dengan kuasa Allah yang harus mendominasikan hidup orang percaya.
6.Penafsiran Lexical (Semantik/Lexicon/Arti Kata)
Analisa lexical mengajarkan bahwa suatu kata memiliki arti tertentu dalam konteks tertentu. Penafsir bukan hanya dituntut mengetahui keberagaman arti suatu kata, tetapi arti kata tersebut dalam konteks tertentu atau menurut penulis tertentu.
Kata adalah unit terkecil dalam kalimat. Di dalam Filipi 4:3 tertera kata "Sunsugos". Jika diselidiki artinya berarti "teman sepenanggung kuk" (terjemahan LAI: temanku yang setia). Jadi kata ini boleh dipakai untuk nama seorang teman Paulus atau secara artinya "temanku yang setia". Kata "Kasih" yang tertulis dalam Alkitab LAI, sebenarnya bila diselidiki dari bahasa asli Alkitab, bahasa Yunani, kata itu ditulis dalam beberapa kata yang berbeda artinya, yaitu Agape, Phileo dan Eros. Ketiga kata tersebut mempunyai arti yang tidak sama. Agape menunjuk kepada kasih Allah, kasih yang berkorban tanpa pamrih. Phileo menunjuk pada kasih persaudaraan, sementara eros adalah ekspresi kasih kepada lawan jenis.
Selidiki ayat-ayat berikut (Luk.1:15,41,67; 4:1; Kis.4:8; 7:55; 9:17; 13:9), lalu analisa apakah "penuh Roh Kudus" menurut Lukas harus berbahasa roh? Efesus 5:18 mengatakan, "hendaklah kamu penuh dengan Roh". Kata 'penuh' tidak ada hubungannya dengan isi atau kuantitas, seolah-olah kita adalah bejana kosong yang memerlukan bahan bakar rohani agar dapat terus menyala. Ini tidak ada hubungannya dengan pengalaman religius atau dengan perasaan. Kata 'penuh' (Yunani: pleroo) berarti 'dikuasai oleh'. Roh Kudus memenuhi orang percaya artinya 'Roh Kudus menguasai atau mengontrol secara total hidup seorang beriman'.
Kesimpulan
Berkhotbah memang tidak mudah. Berkhotbah bukan asal berbicara. Berkhotbah memiliki hubungan yang erat dengan Alkitab. Alkitab itu diilhamkan atau dinafaskan Allah (2 Timotius 3:16; bdk.2 Petrus 1:20-21). Berkhotbah menuntut sebuah tanggungjawab, baik di hadapan Allah maupun di hadapan jemaat. Karena itu, ingatlah, ketika menafsirkan firman Allah, yang dicari bukan apa menurut kita maksudkan dari ayat firman Allah itu, tetapi apa sebenarnya arti ayat itu ketika pembicara pertama menyampaikan perkataan itu kepada penerima tulisan itu. Inilah tugas para penafsir firman Allah. Selidikilah Alkitab dengan seksama dan dengan sikap kerendahan hati dan berdoa! Sangat disarankan agar setiap hamba Tuhan yang ingin lebih baik lagi dalam berkotbah agar tidak merasa puas diri dengan keadaan masing-masing. Carilah pengetahuan yang lebih dalam lagi mengenai cara menafsirkan Alkitab yang benar. Tuhan memberkati!
Sent from my iPhone
ABDI ALLAH dan KHOTBAHNYA (Pdt.Dr.Henoch Edi Haryanto)
By STEFANUS SUSANTO
Posted On
//
Labels: